Jumat, 20 Januari 2012

Hakikat Kebahagiaan Hidup

Hakikat Kebahagiaan Hidup
Kita hidup didunia ini tidaklah hidup begitu saja. Kita semua diberikan kesempatan hidup oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan tidak tahu hingga kapan Alloh akan memberikan kesempatan hidup ini kepada kita. Bahkan  lebih daripada itu, tak satupun dari kita yang bisa menjamin bagaimana akhir kehidupannya kelak. Padahal setiap orang ingin kehidupan yang bahagia. Setiap orang ingin kehidupannya berjalan dengan selamat. Maka akankah kita mampu mencapai kebahagiaan yang didamba itu? Akan selamatkah diri kita? Karena itulah pemahaman tentang hakikat kebahagiaan dan bagaimana jalan yang selamat untuk mencapainya merupakan ilmu penting yang selayaknya kita pahami.
Petunjuk Alloh Tentang Hakikat Kebahagiaan
Alloh Subhanahuwata’ala Berfirman [surah An-Nahl (16) ayat 97]
Barangsiapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
[Asbabun Nuzul An-Nahl (16) ayat 97]
Ibnu Jarir ath-Thobari Rahimahulloh berkata ;
“ada yang berpendapat bahwa ayat ini turun ketika tiap-tiap pemeluk agama merasa bangga dengan agamanya, mereka berkata: “kamilah yang lebih utama’, lalu Alloh Azza Wajalla menurunkan ayat ini.
Abu Sholih Rahimahulloh berkata:
“manusia berkumpul, ada penyembah berhala, ahli taurat, dan ahli injil, masing-masing mereka berkata : kami-lah yang lebih mulia, maka Alloh menurunkan ayat ini.
[lihat : tafsir ath-Thobari 7/641]
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahulloh berkata tentang ayat ini;
“ini adalah sebuah kabar dari yang Maha Benar, Dia menyampaikan kepada hamba-Nya yang memiliki ainul yaqin bahkan haqqul yaqin bahwa sungguh siapa yang beramal sholeh akan dihidupkan oleh-Nya dengan kehidupan yang baik sesuai kadar amalan dan keimanannya. [lihat : Baday’ut-Tafsir, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, 3/51]
Dengan firman-Nya (Qs. An-Nahl [16] tersebut) Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberi petunjuk sekaligus jaminan kepada hamba-Nya bahwasanya kebahagiaan hidup dan jalan yang haq untuk mencapainya adalah berada diatas jalan iman dan amal sholeh, bukan melalui jalan-jalan lain yang dikarang-karang oleh manusia. Akan tetapi kebanyakan manusia jahil terhadap perkara ini. kebanyakan mereka memperturutkan selera nafsunya yang rendah dalam menafsirkan kebahagiaan dan jalan mencapainya. Sebagian mereka salah kaprah tentang perkara ini dengan berpendapat bahwa “kebahagiaan itu adalah seperti ini dan begini cara mencapainya”, akan tetapi ternyata maksud mereka itu keliru dan jauh dari kesejatian. Ada pula para pemikir yang hampir benar dalam menafsirkan kebahagiaan akan tetapi mereka sama sekali tidak peduli dengan jalan apapun untuk mencapainya dengan berpendapat “yang penting tujuannya sama”. Dan bahkan ada yang paling parah yakni tidak hanya salah dalam menafsirkan kebahagiaan tapi juga mengajak manusia dalam kesalahan tersebut dan meng-klaim “ini adalah agama” sehingga jadilah mereka orang yang sesat lagi menyesatkan. Naudzubillahi mindzalik, Padahal tidaklah pokok-pokok agama dan kehidupan ini tegak kecuali dibangun diatas 2 perkara, yakni; Benarnya tujuan, dan ke-2; Benarnya jalan untuk mencapai tujuan tersebut.
Karena itu sebelum membahas lebih jauh pemahaman yang benar tentang kebahagiaan, ada baiknya kita singkap terlebih dulu pemahaman salah kaprah manusia tentang ini.
Salah kaprah tentang hakikat kebahagiaan
Kebahagiaan merupakan dambaan setiap jiwa manusia, bahkan ia adalah maqsud yang tersembunyi dibalik dada manusia ketika manusia menghendaki sesuatu dalam kehidupannya, dan ini tak terkecuali bagi siapapun dalam amal apapun –baik pelaku kejahatan dengan kejahatannya maupun orang baik dengan kebaikannya.
Orang sholeh misalnya, dibalik kesholehannya sebenarnya dia mengharapkan kebahagiaan dari kesholehan tersebut. Demikian pula para pelaku kejahatan, mereka melakukan kejahatan tidak lain karena hasrat untuk memuaskan dan membahagiakan jiwanya yg kering.
Demikian halnya pelaku maksiat, kemaksiatan yang mereka lakukan sebenarnya karena mengira kepuasan dan kebahagiaan akan mereka rasakan dengan kemaksiatan tersebut. Begitu juga para ahli ibadah dengan ibadahnya.
Para pekerja keras -jika mereka rela bekerja keras demi memperjuangkan apa yang menjadi dambaan diri dan keluarganya yakni berupa kebahagiaan- maka sebenarnya para pemalas-pun senang bermalas-malasan lantaran menikmati kemalasan dan mengira bahwa kebahagiaan telah ia capai cukup dengan hal tersebut.
Inilah sisi unik “kebahagiaan”, semua orang pasti mendambakannya tanpa kecuali.
Realitas diatas -selain menyingkap rahasia dibalik “maksud perbuatan mahluk”- juga menyingkap sisi lain mahluk kepada kita; bahwasanya setiap mereka mempunyai tafsiran tentang kebahagiaan yang berbeda-beda sesuai pola pikirnya, alhasiil; inilah sebab bermunculan berbagai teori “jalan menuju kebahagiaan” ala manusia yang nuansanya bermacam-macam. Ada yang hedonis, materialis, sosialis, liberalis, sufistik, kriminalis, dsb. Lalu apakah metode-metode tersebut sanggup mengantarkan manusia kepada kebahagiaan? Ternyata tidak, karena telah berlalu zaman ke zaman dan kita perhatikan; “betapa banyak orang yang menginginkan kebahagiaan, akan tetapi akhirnya tak satupun mereka yang bisa mendapatkannya”.
Jika kita runut fenomena ini setelah datang pada kita bashiroh (*yakni setelah kita memiliki ilmu yang haq) ternyata pemicu utama salah kaprah sekaligus sebab yang sering menggelincirkan manusia keliru dalam menilai kebahagiaan dan jalan mencapainya adalah berada pada pola pikirnya yang jahil, Kebodohannya akan agama, kejahilan akan syariat. Naudzubillahi mindzaalik, selalu saja kebodohan menjadi batu sandungan pertama dalam meraih kemuliaan. Karena itu, Ilmu adalah kunci pertama yang harus dimiliki untuk mencapai kebahagiaan. Ilmu adalah al-Fattah (pembuka) yang dengannya manusia bisa menguak bentuk kebahagiaan yang sejati sekaligus mengenal jalan yang haq untuk mendapatkannya.
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah berkata tentang manusia-manusia yang salah kaprah tentang kebahagiaan lewat perkataannya: “Tetapi orang bodoh salah menafsirkan, mereka menyangka bahwa manusia yang memperoleh kenikmatan ialah yang mendapatkan berbagai macam makanan, pakaian, istri, atau menguasai kekuasaan dan benda. Tidaklah diragukan bahwa semua kenikmatan ini juga dimiliki oleh binatang. Maka barangsiapa yang hanya mengandalkan kenikmatan duniawi tersebut sama halnya binatang” [Baday’ut-Tafsir, 3/51]
Apa yang dikatakan tersebut sesuai dengan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala:
Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang [Muhammad 47 : 12]
Berbagai salah kaprah yang dimaksud disini misalnya menganggap bahwa kebahagiaan itu identik dengan banyaknya harta dan kemewahan. Atau memiliki pasangan hidup yang elok dan rupawan. Atau menguasai kursi jabatan dan menjadi orang penting didalam lembaga ini dan itu. Inilah salah kaprah yang paling sering terjadi. Bahkan hampir semua orang saat ini menyangka bahwa dengan mendapatkan semua itu maka akan tercapailah kebahagiaan. Sekali lagi Benarkah demikian? ternyata tidak, karena tidak sedikit mereka yang mencapai semua kedudukan tersebut yang hidupnya kering dan berakhir pada kehampaan, bahkan jatuh dalam pandangan manusia dan terhina. Dan di hari akhir kelak, sebagian mereka sibuk dengan perandaian; “seumpama saya tidak begini tentu sekarang tidak akan begini”. *Yakni mereka menyesali apa yang sebelumnya pernah mereka banggakan yang ternyata semua itu hanyalah istidraaj disisi Alloh Azza wajalla.
[istidraaj : sesuatu yang dalam pandangan manusia mengangkat kedudukan seseorang, ternyata ia adalah sebab kejatuhan dan kehinaan orang tersebut dikemudian hari]
Alloh Azza wa Jalla berfirman :
Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Alloh menghendaki dengan (melimpahkan) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir [At-Taubah (9) : 55]
Makna Yang benar tentang Hakikat Kebahagiaan :
Nilai-nilai dasar Kebahagiaan telah cukup jelas diterangkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam surah An-Nahl [16] ayat 97.
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Didalam ayat tersebut kita menjumpai kalimat “hayaatan thoyyibatan” (*kehidupan yang baik) dan inilah nilai-nilai dasar kebahagiaan sebab tidaklah Alloh menyatakan sesuatu itu “thoyyib” melainkan sesuatu itu adalah satu perkara yang dengannya Alloh sempurnakan keberkahan, kenikmatan dan kebahagiaan dari sisi-Nya.
Lalu apa penjelasan lebih jauh makna kalimat tersebut? Mari kita merujuk kepada pemahaman para sahabat Radhiallohu ‘anhum dan ulama salaf dalam hal ini.
Ali Radhiallohu ‘anh berpendapat; “ia adalah Al-Qonaah” (*menerima terhadap ketentuan Alloh)
Ibnu Abbas Radhiallohu ‘anh berpendapat; “ia adalah “rizki yang halaalan
Mawardi Berpendapat; “Ridho dengan Takdir”.
Sahl bin Abdulloh at-Tusturi berpendapat; “Zuhud terhadap urusan duniawi dan memusatkan tafakkurnya kepada urusan yang haq”.
Imam Asy-Syaukani Rahimahulloh berkata ; “Ahli tafsir menafsirkan makna kebahagiaan hidup diatas ialah untuk di dunia, sedangkan kenikmatan hidup di akhirat diterangkan ayat sesudahnya (yakni; dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan) [lihat Tafsiir Fathul Qodir; 3/297]
Makna diatas mungkin ditolak oleh sebagian orang awam karena bagi mereka kehidupan yang baik itu adalah yang tidak ada padanya musibah dan selalu dilimpahi harta kekayaan. Hal ini keliru, karena bagaimana ada orang yang hidup jika tidak pernah ditimpa musibah? Dan bukankah salah satu tanda bagi orang beriman adalah diuji oleh Alloh. Dan ternyata orang yang miskin-pun ada yang hidupnya diliputi ketentraman dan kebahagiaan.
Karena itu makna “kehidupan yang baik” itu bukanlah dimaksud pada sisi zhahiriyyah, tapi pada sisi “baiknya kehidupan hati” yakni hati tersebut selalu lapang, tenang, dan tentram sehingga pelaku kebahagiaan ini nampak pada wajahnya ruh yang muthmainnah.
Ibnu Utsaimin Rahimahulloh berkata :
“jika anda ditanya: bagaimana kehidupan yang baik itu? (jawablah) Hidup yang baik adalah lapang dada dan jiwa yang tenang, sekalipun dirinya ditimpa musibah. [Al-Furqon, VI/1428, hal 9]
Subhanalloh, inilah pendapat yang benar dimana semua pendapat yang dinukil ini ternyata selaras dengan apa yang telah diisyaratkan Rasululloh Shalallohu ‘alaihi wasallam tentang kebahagiaan. Beliau bersabda:
‘Amat mengherankan perkaranya orang beriman bahwa segala urusan (dalam kehidupannya) baik, dan hal ini tidaklah diperoleh seorangpun kecuali mereka yang beriman. Jika diberi kenikmatan dia bersyukur, maka ini baik baginya. Dan bila ditimpa kesulitan dia bersabar, maka ini baik bagi dirinya” [Hadist Riwayat Muslim, 5318]
Demikianlah, bahwa kebahagiaan yang sejati itu adalah keridhoan dan lapangnya hati dalam menerima segala ketentuan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Menjalani takdir-takdir yang telah digariskan-Nya dengan hati yang bersabar dan bersyukur, Qonaah, dan ridho menerima semua itu, bebasnya hati dari kecemasan akan semua itu, dan rasa penuh arti terhadap segala kenikmatan yang diberikan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Inilah gambaran kehidupan yang selalu berada dalam kebaikan, kehidupan yang halaalan, thoyyibatan.
Kini amat jelas bahwa makna kebahagiaan yang dipahami sebagian besar orang dimana mereka menyangka bahagia itu identik dengan kesenangan jasadiyah adalah tidak kena pada esensi kebahagiaan yang hakiki. Lihat saja seorang yang jasadnya nampak mewah belum tentu ia bahagia karena boleh jadi hidupnya selalu gundah. Seorang yang setiap hari jasadnya ditemani istri yang cantik bak diva belum tentu bahagia karena ternyata istrinya tidak setia. Seorang yang berkedudukan tinggi belum tentu bahagia karena jabatan yang ia sandang boleh jadi membuat ia terpenjara.  Justru sebagian dari mereka inilah yang hidupnya paling jauh dari kebahagiaan. Yang jiwanya paling hampa dan kering. Yang hatinya paling merindukan ketentraman. Sungguh benar sebuah ucapan “kebahagiaan tidaklah diukur dari apa yang tampak pada dzahir para raja, karena kebahagiaan itu biangnya bersembunyi didalam hati manusia”
Rasululloh Shalallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“bukanlah yang disebut kaya itu dengan banyaknya harta, akan tetapi kaya adalah yang kaya jiwanya” (Hadist Riwayat Bukhori dan Muslim)
Jalan Yang Haq Untuk Mencapai Kebahagiaan
Alloh Berfirman dalam surah Al-Ashr (103) ayat 1 – 3
Demi masa.
Sungguh manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Surat Al-Ashr diatas mengandung pokok-pokok kebahagiaan. Maka sesuai dengan kandungan surat tersebut dan diperkuat dengan surat An-Nahl diatas, maka diketahui ada 4 pokok penyebab kebahagiaan. Yakni Iman, Amal Sholeh, Ahsanul-Lisaandan Sabar. Inilah jalan yang haq untuk meraih kebahagiaan. Inilah sebab-sebab kebahagiaan. Dengan mengumpulkan semua ini didalam diri kita maka kebahagiaan yang sempurna dapat dicapai.
Dari pemahaman ini dapat diketahui bahwa Terdapat 4 Penyebab Pokok Ketidakbahagiaan, yaitu :
1.     Tidak beriman
kadar kebahagiaan ternyata sesuai dengan kadar keimanan. Hanyalah orang beriman yang mampu mengecap manisnya kebahagiaan yang bersumber dari manisnya iman. Keimanan didalam hatinya menjadi sumber kekuatan dan ketenangan sekaligus iman itu menjadikan ia pantas untuk diselamatkan Alloh Azza wa Jalla dalam kehidupan dunia dan akhiratnya[1] . Sebaliknya keberpalingan dan kekufuran adalah penyebab sempitnya kehidupan.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfiman :
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” [Thoha, (20) : 124]
Alloh mengancam mereka –orang yang berpaling- dengan kehidupan yang sempit. Duhai, ancaman siapakah yang lebih benar dan lebih menakutkan daripada ancaman Alloh –Zat Yang Maha Keras Azabnya-, maka itu berhati-hatilah dari kekufuran akan ayat-ayatnya.
Saudaraku.. Semakin mantap dan teguh iman seseorang, semakin tetaplah hatinya didalam ketenangan dan ketentraman. Sebaliknya; semakin terombang ambing keyakinan seseorang maka semakin terombang ambinglah ia diantara ketentraman dan ketakutan, diantara ketenangan dan kegelisahan, diantara kekuatan jiwa dan kelemahannya, dan semua ini adalah bentuk dari sempitnya penghidupan yang telah diancamkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Karena itu barangsiapa yang hendak meraih kebahagiaan yang tetap, tetapkanlah hatinya dengan keimanan. Janganlah mencampuri keimanannya dengan syirik dan keragu-raguan karena besarnya syubhat didalam hati akan setara dengan besarnya penghalang hati untuk teguh diatas kedamaian dan kebahagiaanya. upaya untuk terus membersihkan hati dari segala syubhat harus terus dilakukan demi kebahagiaan dan ketenangan hati itu sendiri. Dan salah satu bentuk keimanan yang paling menentramkan dalam perkara ini adalah “tawakkal” dengan sebenar-benar tawakkal.
1.     Tidak beramal sholeh
kebahagiaan tidak akan bisa terealisasi kecuali dengan beramal sholeh sebagaimana keimanan tidak akan nampak kecuali dengan beramal sholeh. Seseorang yang mengangankan kebahagiaan tapi tidak ada usaha nyata atas angan tersebut sama halnya orang yang mengikrarkan keimanan tapi tidak nampak usaha atas keimanan tersebut. Usaha nyata yang dimaksud disini tiada lain adalah beribadah dan bekerja sesuai apa yang dituntunkan dalam Syariat Alloh yang mulia ini, tanpa membuat sesuatu yang menyelisihinya atau keluar dari batas-batas yang ditetapkannya.
Beramal sholeh adalah bentuk syiar yang paling jelas akan baiknya agama seseorang. Berkata Imam Bukhori Rahimahulloh : ‘Aku menjumpai berkali-kali dari satu masa ke masa yang lain, lebih dari seribu orang laki-laki dari kalangan ahli ilmu dari hijaz, Makkah, Madinah, Kuffah, Bashroh, Wasith, Baghdad, Syam, Mesir,…Maka tidaklah aku melihat seorangpun dari mereka berselisih dalam hal ini, yaitu; Agama adalah ucapan dan perbuatan. [Syarh Ushulul I’tiqod Ahli Sunnah, 1/173-174]
Bahkan sebagian Ahlul’ilm menyatakan bahwa mereka yang mengatakan bahwa dirinya menginginkan Sa’dah Wan Najaah (*kebahagiaan dan kemenangan) namun tidak nampak padanya amalan nyata menuju itu maka ia adalah seorang pendusta (*yakni karena mengatakan apa yang tidak diperbuatnya)
1.     Tidak mengajak kepada kebaikan
tidak ada kebaikan pada sebagian besar perkataan manusia kecuali mereka yg mengajak pada kebenaran dan kesabaran. Lidah adalah ujungnya hati. (*yakni Seorang yang baik lidahnya menunjukan baik keadaan hatinya) Dan antara lidah dan hati memang saling mempengaruhi. Hati yang bahagia akan memicu lidah untuk mengucapkan kata-kata yang membahagiakan. Begitupun sebaliknya, lidah yang terbiasa dilatih mengucapkan kata-kata yang baik akan mempengaruhi hati untuk selalu merasa bahagia. Antara lidah dan hati ada keterikatan yang kuat. Maka Alloh memerintahkan untuk selalu membasahi lidah dengan dzikir, dan hanyalah dengan berdzikir mengingat Alloh hati akan tentram.
1.     Tidak bersabar
ketidak sabaran adalah awal kesengsaraan, sungguh ketidaksabaran adalah awal kesengsaraan. Maka barangsiapa yang hendak mencari kebahagiaan, hendaklah ia mempersiapkan dirinya dengan kesabaran. Manusia memiliki himmah (*cita-cita), dan salah satu sebab kebahagiaan manusia adalah terpenuhinya apa yang menjadi himmah-nya. Dan himmah tidak bisa terpenuhi begitu saja melainkan harus ada ujian dan proses perjuangan untuk meraihnya. Maka kesabaran akan selalu menjadi hiasan dalam proses meraih himmah tersebut. Belum pernah kita temukan dimuka bumi ini seseorang yang mendapatkan sesuatu yang menjadi cita-citanya dengan cuma-cuma begitu saja. Selalu ada perjuangan dan cobaan yang menguji. Selalu ada rasa sakit dan kepayahan yang menghalangi. Semakin tinggi pucuk pohon yang hendak dicapai, semakin besar pula terpaan angin yang siap mendera. Karena itu menghayalkan bahwa kebahagiaan bisa diraih tanpa kesabaran adalah suatu angan-angan kosong belaka, sedangkan mengumpulkan kemenangan bersama kesabaran itulah bukti benarnya pemahaman akan kehidupan. Ketahuilah; Sesudah ilmu itu adalah amal, sesudah amal itu dakwah, dan sesudah dakwah itu adalah sabar. Maka sabar adalah penjaga bagi 3 perkara penting sebelumnya, yakni ilmu, amal, dan dakwah.
Demikianlah pembahasan seputar kebahagiaan. Menutup tulisan ini, disini ingin dikutip sebuah doa dari Rasululloh Shallallohu ‘alaihi Wasallam :
“Ya Alloh.. perbaikilah bagiku agamaku yang agama ini merupakan penjagaan perkaraku, dan perbaikilah bagiku duniaku yang aku hidup didalamnya, dan perbaikilah bagiku akhiratku yang merupakan tempat kembaliku, dan jadikanlah hidup ini sebagai tambahan bagiku dalam seluruh kebajikan, dan jadikanlah kematian sebagai peristirahatan bagiku dari seluruh keburukan” [Hadist Riwayat Muslim]
______________________
[1] Nabi Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda dalam sunnahnya sebagai jawaban terhadap malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman:
” Artinya : Iman adalah engkau mengimani Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kemudian, dan mengimani takdir yang baik dan yang buruk.” [Hadits Riwayat Muslim] (Hadist Dikutip dari Almanhaj.or.id)
*sebagian dari tulisan ini mengambil dalil dari Al-Furqon (no.8/VI/Robi’ul Awwal 1428H)
* sebagian besar tulisan seputar kebahagiaan mengumpulkan sebab-sebab kebahagiaan kedalam satu kalimat yakni “Taqwa”. Dalil tentangnya “Yang Artinya : Dan barangsiapa bertaqwa kepada Alloh niscaya Alloh menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” [Ath-Thalaq : 4]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar